winter game

winter game

Teman-temanku Luar Biasa (Kenangan – Masa Kecil)


Aku Hanyalah seorang biasa yang sepanjang hidupku dipenuhi orang-orang yang menemani hidupku yang begitu luar biasa…. Kesederhanaanlah yang membuat mereka begitu luar biasa… kasat mata kadang tak menampakkan hal-hal luar biasa itu… tapi hati nuranilah yang menuntun kita untuk membuatnya menjadi luar biasa…

Masa kecilku dipenuhi dengan sukacita… mereka menanam kebersamaan itu begitu berharga dan kesendirian itu begitu beku… semuanya kita lakukan sama-sama… mulai dari hujan-hujanan… mencari ikan atau udang bahkan belut di selokan yang dulu masih jernih dan banyak ikannya… bahkan kadang kita juga memakannya… mandi di kolam pak lurah atau membersihkan diri di kali sehabis main bola… ketika kami lapar… kami pulang kerumah masing-masing untuk mengambil makanan yang biasa kami makan, kami lakukan secara bersama-sama di belakang rumah kami, sebuah komplek perumahan (Dulu Perumnas Depok Utara) diantara belakang dan samping rumah kami di pisahkan oleh gang kecil yang kadang kala dilewati tukang minyak atau tukang abu gosok bahkan tukang perabot dapur atau sol sepatu dan tempat balapan sepeda (Sekarang hanya tukang sampah atau gas keliling), disnilah markas kami…. Kalau sekarang Aku memaknainya sebagai markas kehidupan…. Karena disnilah kami hidup bukan dibalik tembok kuat diantara gang rumah kami…. Kami lukis sebuah kertas cita-cita… kebanyakan diantara kami senang dengan kekuasaan… karena latar belakang keluarga kami adalah orang-orang yang sukses dengan kemulyaan kedudukan dunia… kertas kami warna-warni dan kami tempelkan di dinding belakang rumah kami sebagai tanda keberadaan kami bahwa kami adalah penguasanya…. Kami juga suka melakukan hal-hal yang menurut orang dewasa tidak lazim…. Mencuri buah yang pemiliknya pelit menjadi target kita dan setelah hasil dikumpulkan kita bagikan kepada pengemis (Kayak Robin Hood?!@#)… Ketika bermain Polisi dan maling… banyak diantara kami lebih suka menjadi maling… karena lebih bisa berbuat dan berkuasa atas sesuatu…. Ketika bermain Gestapu (G 30 S/PKI – ini gara-gara drama di sekolah dalam rangka meningkatkan semangat nasionalisme) kami berebut untuk menjadi PKI…. Karena dapat berkuasa dan berbuat sesuai dengan kehendak kita (bahkan kita bisa menyiksa rekan kita)… ketika membuat pekerjaan seni lukis pemandangan…. Kita membuat lukisan pemandangan dengan cara yang radikal (ketika itu…) dengan cara melukis pakai jari tangan dan goresannya pun radikal…. (akan tetapi guru Kami menilai karyaku terbaik disekolah katanya inilah POINTELISME)… walau aku lama untuk mengertinya…. Ketika kebersihan itu begitu indah…. Coretan temboklah tempat aktualisasi diri kami untuk menunjukkan nama kami ada diantara tulisan lainnya….(walau kadang tulisannya jelek)… ketika yang anak-anak seusia kami lainnya takut kepada hantu…. Kami sehari-hari bermain di kuburan meskipun hanya sekedar memanjat setinggi-tingginya pohon jambu mete atau pete dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya…(walau kita kadang membuangnya lagi karena tidak begitu suka dengan rasanya)… kami punya satu orang yang kami anggap sebagai bos… semua harus tunduk pada perintahnya…. Ketika bos katakana jangan temani… maka semuanya mengamini dengan memusuhi… jika bos berhalangan atau pergi berlibur… maka tidak lupa beliau menitipkan kepemimpinannya kepada yang lainnya…. Yang penting jangan ada kepemimpinan yang kosong… mesjid menjadi alasan kami untuk bisa keluar hingga malam hari walau kadang mengganggu yang benar-benar ingin belajar mengaji….(Karena sok… sudah lebih bisa)…

Berbagai macam hal-hal negatif itu pada saatnya adalah sesuatu peringatan untuk memisahkan pertemanan kami…. Tapi orangtua kami begitu moderatnya mempersatukan kami… dengan berbagai macam alasan untuk tetap berteman walau kadang meresahkan mereka…. Akibat perilaku kami yang berbeda dengan anak-anak lazimnya….

Sekarang….

Jarak memang tak membuat kami jauh… kita sudah sama-sama berkeluarga… kita sudah sama-sama meninggalkan Markas Kehidupan kami… Kitapun juga sudah sama-sama meninggalkan seorang Nenek yang sudah janda di tinggal lama oleh suaminya… bahkan diantara kami ada yang di tinggalkan keduanya…. Akan tetapi gang di belakang rumah kami masih berdiri kokoh… walau sekarang sangat tertata rapih dan nyaman untuk duduk santai aku dan istri dan kedua buah hatiku ketika berlibur kerumah orangtuaku… bekas tulisan di tembok basah dengan paku sehingga membuat ceruk bentuk tulisan saat kami mengikrarkan diri disini… tertanggal 10 Desember 1988…. Bearti sudah tepat 20 tahun tulisan ini masih ada (Aku juga heran kok tetap luput dari renovasi) sebuah bangku semen bekas cucian piring jaman dahulu (Dari batu Granit buatan/ teraso) yang tak terpakai di cor dengan semen di belakang rumahku disampin bekas pompa tangan yang tinggal sisa lubang yang tak terpakan lagi…. Pohon yang dulu rindang sudah berganti beberapa generasi… sekarang hanyalah susunan pot plastic berisi tanaman hias (karena ibuku senang menanam tanaman hias)

Akan tetapi… makna kehidupan dari Markas yang telah kami bangun ketika itu membuat kami bebas untuk berpikir… berkreasi… berpendapat… berani… pantang menyerah…. Bisa menhadapai masalah sulit… tegar… sederhana… setia kawan…. Siap memimpin dan dipimpin… amanah…

Hikmah

Ternyata hal-hal buruk menurut orang belum berarti menjadikan kita memiliki sifat-sifat buruk, ada hal terpenting yang tidak pernah terlupakan oleh orangtua kami yang rata-rata sudah menyempurnakan agamanya dengan Haji, yaitu hakekat diri yang memiliki Fitrah untuk kembali pada yang maha membuat dan menggerakkan langkah kita….

Tidaklah penting berbagai macam keburukan yang telah kita lakukan… yang terpenting adalah perjalanan kehidupan sesuai dengan kehendak Pencipta… agar Sang Pencipta Ridho terhadap apa yang telah kita lalui sebagai proses pembelajaran

Teman-temanku Luar Biasa (Kenangan – Masa Remaja)

Masa remaja buat sebagian besar orang adalah masa yang indah…. Masa transisi…perubahan dari anak-anak menuju dewasa…. Kami menyebutnya sebagai masa inkubasi dalam sebuah proses metamorfosa kehidupan kami ketika kami dipaksa untuk mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan kehendak kami…. Ketika disekeliling kami menganggap kami adalah pemberontak atas eksistensi yang tak tertampung… kami buat suatu oposisi diseberang system yang sudah tertata rapih…. Kami berlindung atas kemampuan tak berdasar…. Kami melakukan terobosan yang melawan arus evolusi…. Bahkan kami kadang membenturkan diri kami dalam tembok ketidak tertataan yang terorganisir…. Kami lebih memilih mulia di jalur non-formal… kami nyaman dengan ketersembunyian…. Hingga suatu saat menjadi suatu ledakan BUUUMM…

Diantara kami ber-enam hanya satu orang yang lolos UMPTN

Ternyata kami bukanlah sehebat yang telah kami lakukan… ternyata kami bukanlah apa-apa… ternyata…. Hanya sebuah kegagalan dalam mengores cita-cita yang kami dapat…. Kami hanyalah sekumpulan orang yang tidak memiliki arti pada saat itu…. Mimpi kami hancur dengan sebuah keterlelapan pada tidur yang berkepanjangan….

Ternyata Ledakan itu membangunkan kami dari ranjang yang nyaman…. Segera harus kami rubah haluan bahtera ini agar tidak karam…. Kusembunyikan diri yang tak berarti… ditengah eksplorasi keangkuhan diri….

Suatu hari kami berkumpul untuk mengikrarkan sebuah perubahan diri kita untuk dapat membuktikan kepada mereka bahwa kami juga dapat berarti seperti yang lainnya…. Sejak saat itu kami lakukan hal-hal yang dapat bermanfaat untuk orang lain… Forum yang kami buat sebagai wadah curhatnya remaja hotlinenya sudah di tutup… Organisasi yang membesarkan kami dan membuat kami memiliki jaringan pelajar lain sekolah dan daerah pun sudah kita tanggalkan…. Yang ada hanyalah sebuah tanda Tanya atas keterlenaan selama waktu yang kami habiskan…. Tanah lapang tempat kami mengucurkan keringat karena olahraga atau di hokum gurupun telah sunyi… sudut kantin tempat kami diskusipun telah kami tinggalkan (walaupun masih terukir nama kami disitu- RETAK Was Here)

Sekarang…

Baru Aku sadar ditengah kesepianku…. Ternyata aku tidak sendiri…. Komitmen itu yang membuat kami sampai saat ini berdiri tegak… komitmen itu yang membuat perubahan konsistensi perencanaan hidup… komitmen itu yang membuat potongan jiwaku tetap utuh…. Merekalah yang mempersatukannya…. Ditengah kekhilafan ini ternyata kegagalan membuatku lebih hidup….(Alhamdulillah)… kegagalan masa lalu ternyata membuat aku kuat… walau pada awalnya aku tidak bisa menerimanya….(karena aku tidak pernah gagal sebelumnya)

ANDA MUNGKIN SERING MEREMEHKAN

Anda mungkin sudah sangat sering mendengar nasehat ini, “api kecil adalah kawan, api besar adalah lawan”. Saat api masih kecil ia adalah energi yang bersahabat dan menghangatkan. Akan tetapi, saat ia menjadi besar dan tidak terkendali, ia akan menjadi malapetaka yang menyengsarakan. Anda, biasa mencontohkannya dengan kebakaran.

Api yang kecil sering kita remehkan. Mungkin saja karena ia masih “no harm”, cuma hangat dan sama sekali tidak panas. Api kecil kita remehkan hanya karena ia bersahaja dan bersahabat. Terus begitu sampai semuanya sudah terlambat. Itulah yang bisa terjadi sesungguhnya, yaitu sikap yang meremehkan. Maka, tidak jarang kita mendengar musibah kebakaran, yang terjadi “hanya karena” sepuntung rokok, setengah sisa lilin, atau sepercik sulut dari colokan AC yang “konslet”.

Disadari atau tidak, kita juga sangat mungkin sering memandang sesuatu dengan sebelah mata. Plastik kresek di tengah jalan. Botol air mineral yang menyumbat selokan. Sedikit air menggenang di batok kelapa yang telentang. Seulas oli yang merembes di sela-sela sil mesin kendaraan, dan sebagainya.

Bisa jadi, kita juga sering meremehkan apa yang ada pada orang lain. Orang yang cacat, orang yang tidak mampu, orang yang berpenampilan buruk, orang yang tak terdidik, orang yang ber-iq rendah, orang yang tidak bisa menyebutkan huruf “r” dengan benar, orang yang tidak ngganteng, dan sebagainya.

Bahkan disadari atau tidak, kita mungkin sudah terbiasa juga dalam meremehkan, apa-apa yang ada pada diri dan di dalam jiwa kita. Bahwa Anda perlu mencoba menulis, sebanyak Anda berbicara atau mendengar, Anda belum tentu melakukannya. Bahwa kita perlu secara teratur berolahraga, kita mungkin lebih memilih bergelung di pagi buta. Bahwa Anda perlu juga berekreasi dan tidak terlalu gila dalam bekerja. Bahwa kita tidak perlu terlalu banyak bagadang. Bahwa Anda musti selalu berpikiran positif. Bahwa kita perlu untuk sering bersilaturahim. Bahwa Anda perlu ikhlas dan menerima keadaan tanpa terlalu banyak bertanya, dan sebagainya.

Semua itu mungkin saja kita remehkan, sampai semuanya mulai terbuka. Terbuka menyeruak dan menunjukkan sikap protesnya. Maka, mulailah tubuh Anda merasa kurang fit. Hati Anda lebih mudah terguncang dan tergoyahkan. Fisik Anda mulai melemah. Pikiran Anda mulai kacau. Iri dan dengki mulai menghinggapi. Bermacam-macam implikasinya. Bagaimana dengan tekanan darah? Bagaimana dengan kondisi jantung yang mungkin bisa menjadi lemah?

Kesadaran itu seperti hampir selalu terlambat datangnya. Sebabnya, hanya karena kita telah terlanjur meremehkan dan menunda. Jika Anda tidak termasuk dalam contoh di atas, ya syukurlah. Anda, bisa jadi sehat jiwa dan raga. Congratulation!

HAL KECIL BISA MERUBAH HIDUP ANDA

Dua pertanyaan yang paling sering harus Saya jawab berkaitan dengan workshop sehari Saya adalah:

Apakah satu hari bisa merubah hidup Saya?

Apakah perubahan itu akan permanen sifatnya?

Saya biasa menjawabnya dengan gambaran yang sederhana. Saya jelaskan sambil bertanya, “apakah satu detik bisa merubah hidup seseorang?” Kemudian Saya jawab sendiri, “ya!” Bagaimana hal itu bisa terjadi? Di sinilah Anda sering lupa, karena sebenarnya jawaban pertanyaan itu selalu berseliweran di depan mata Anda!

Bukan bermaksud mendoakan terjadinya musibah dan bencana, ini hanya gambaran dan cerita.

Seseorang yang terbiasa berkendaraan di jalan tol, mungkin saja meremehkan aktivitas berkendaranya. Jika tidak berhati-hati, “kemelengannya” akan membawa celaka. Dan “meleng” itu, adalah jelas sebuah tanda meremehkannya. Atau jikapun yang bersangkutan sudah cukup berupaya untuk selalu fokus dan berkonsentrasi dengan kemudinya, mungkin saja tiba-tiba mobilnya pecah ban. Sangat mungkin bukan? Berapa detikkah itu terjadi? Berubahkah hidupnya? Berubahkah hidup keluarganya? Berubahkah hidup anak dan istri atau suaminya?

Sebuah pesawat yang terjun menghunjam ke laut dan terus merasuk sampai ke dasarnya, berapa detik? Kapal yang tenggelam ke dasar laut, berapa menit? Berubahkah kehidupan mereka, kehidupan sanak dan familinya? Ya! Hidup ini tidak akan pernah sama lagi bagi mereka.

Tapi Pak Sopa, bukankah semua itu adalah persoalan besar dan bukan hal kecil seperti yang Bapak maksud? Ya saudaraku, kita tidak bisa tidak, akan melihatnya sebagai sebuah peristiwa besar yang memilukan setiap hati dan mata. Peristiwa kemanusiaan yang penuh tragedi dan bela sungkawa. Memang itulah adanya.

Akan tetapi, bagaimanakah selama ini Anda melihatnya dengan kaca mata self development, dari kacamata pengembangan diri Anda sebagai seorang pembelajar? Anda mungkin lupa, atau bahkan Anda mungkin belum melihatnya. Itulah yang terjadi, dan itulah yang mungkin sudah terlanjur menjadi kebiasaan. Anda mungkin telah melupakan, bahwa itu bukan hanya peristiwa sosial yang nyata, akan tetapi juga pelajaran untuk pengembangan.

Maka, tidak aneh jika kemudian muncul berbagai reaksi terhadap semua itu, yang seolah-olah berkata, “kok bisa ya?” Ya tentu saja bisa! Lha wong selama ini sudah terlihat dengan jelas bahwa arahnya memang ke sana kok. Hanya saja, selama ini banyak orang hanya melihatnya sebagai sebuah fenomena sosial, fenomena melorotnya ekonomi, fenomena mundurnya sikap ke arah yang lebih “semau gue” dan “yang penting gue”. Di mana fungsinya sebagai alat pengembangan diri, sebagai alat belajar dan antisipasi?

Hidup Anda bisa berubah hanya dalam sekian detik. Dan itu, Anda yang melakukannya, bukan Saya. Bukan siapa-siapa. Hidup kita bisa berubah dalam sekian detik, dan itu karena kita sendiri. Jika belajar Insya Allah positif, dan jika tidak tentu negatif.

Pertanyaan kedua, biasanya Saya jawab dengan berkaca pada berbagai kenyataan lain, yang melekat pada diri kita. Apakah uang Anda permanen? Apakah Anda akan selalu sehat sejahtera? Apakah nyawa Anda permanen? Apa yang harus Anda lakukan? Tentu saja memeliharanya selagi bisa!

Dan khusus untuk workshop Saya yang tentang percaya diri itu, Saya kembalikan saja kepada si penanya, bahwa semua ini adalah tentang mempercayai diri sendiri. Maka, seberapa jauh dan kuatkah keinginannya, untuk mempertahankan dan memelihara rasa percaya diri itu? Seberapa percayakah Anda, bahwa Anda memang akan selalu percaya diri? Tahukah Anda cara mempertahankannya?

Pada intinya, Anda tidak punya pilihan lain, kecuali melakukan tugas memelihara, sebagai limpahan tugas dari Tuhan Yang Maha Pemelihara. Sebesar apapun yang diamanatkan kepada Anda, dan tentu saja: sekecil apapun.

TIDAK ADA YANG KECIL UNTUK PENGEMBANGAN DIRI ANDA

Perubahan hidup seseorang adalah sebuah titik sentak. Adalah benar bahwa prosesnya berjalan dengan durasi dan eskalasi tertentu. Namun demikian, event perubahan itu sendiri adalah sebuah titik. Sebuah titik puncak, yang karena merupakan puncak, seringkali terlewatkan dan dianggap kecil. Dan jika itu yang terjadi, maka bahkan prosesnya pun kita sering lupa. Kok bisa begini ya? Aku nggak habis pikir hasilnya seperti ini?

Apa yang disebut dengan proses perubahan, adalah kumpulan dari titik-titik event perubahan. Kumpulan dari sentakan-sentakan yang mendaki. Ketahuilah bahwa pendakian perubahan tidak akan pernah mulus. Maka, proses perubahan lebih akurat digambarkan sebagai serangkai undakan anak tangga, ketimbang sebuah grafik yang melengkung dengan halus.

Adalah tidak aneh bahwa hidup seseorang bisa berubah – ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk, hanya dalam waktu yang singkat dan dengan sebuah peristiwa yang “kecil”. Betapa banyaknya kisah sufi yang memberi contoh, bahwa hal kecil adalah pelajaran yang sangat besar dan berharga. Maka, janganlah lagi Anda meremehkan apa yang Anda sebut dengan kecil, sebentar, singkat, “se-upil”, “teri”, minim, pendek, atau sekilas saja. Berhati-hatilah, karena semua itu sangat mungkin bisa merubah hidup Anda.

Jika Anda mabuk, kemudian Anda menusuk seseorang hingga mati, maka hidup Anda jelas berubah. Jika Anda tidak sengaja menabrak orang lain hingga sekarat, hidup Anda juga akan berubah. Berapa detik?

Perubahan besar di dalam hidup Anda, juga bisa terjadi “hanya” karena hal-hal yang “kecil”.

Seorang peserta workshop Saya, menyatakan sangat puas di sore hari setelah selesai acaranya. Akan tetapi, ada pernyataan dia yang membuat Saya ingin menyelidiki. Pernyataan kepuasan itu, diutarakan dengan menyisipkan kata “padahal”. “Saya sangat puas, padahal Saya ikut workshop ini dengan tanpa sengaja.” Dua hal bahkan yang menggoda Saya, “padahal” dan “tanpa sengaja”.

Waspadalah, there is no such thing as “padahal” dan “kagak sengaja”. Semuanya adalah keputusan Anda. Dan tidaklah bijaksana jika Anda mengatakan “padahal” dan “tidak sengaja”, hanya berdasarkan fenomena fisik saja. Sebab jika Anda terjerat olehnya, Anda cenderung mengecilkan berbagai hal yang sebenarnya besar dan bisa merubah hidup Anda.

Besar atau kecil, tidak terletak pada fenomena fisiknya. Sebab, bukan itu realitanya. Realitanya, adalah apa yang ada di kepala Anda. Itu sebabnya, Anda dianjurkan untuk tidak berhenti membaca sebuah buku, jika telah selesai membacanya sekali. Setiap orang bijak, akan mengatakan, “bacalah lagi, bacalah lagi, dan bacalah lagi”. Jika Anda berhenti membacanya setelah satu kali, maka Anda telah mengecilkan makna sebuah buku, hanya karena frekuensi bacanya. Padahal, jika sekali baca belum berpengaruh pada diri Anda, tidak berarti membacanya sekali lagi akan begitu juga.

Jika Anda mendapatkan kado ulang tahun dari “yayang” Anda, dan Anda hanya mendapatkan sebuah figura, padahal Anda berharap mendapatkan berlian dan permata, apa reaksi Anda? Kecewa dan kemudian mengecilkannya? Jangan! Berpikirlah bahwa “yayang” Anda telah berupaya sekerasnya, dengan sepenuh cinta, dengan setulus hati, dengan rasa sayang setengah mati. Hanya itulah yang akan membuat Anda, tidak kehilangan makna.

Saya menelusuri ke staf Saya, berkaitan dengan “sejarah” dari peserta workshop Saya tadi. Dan ternyata, dia sudah menunda untuk mengikuti workshop Saya sampai tiga kali. Beginilah cerita peserta itu kepada Saya.

Di suatu siang, ia memasuki sebuah kantin di bilangan Kuningan, untuk lunch. Hari itu, kebetulan ia sendirian. Di pintu kantin, ia melihat sebuah meja agak di pojokan, kosong tanpa penghuni. Ia menuju ke sana. Duduk dengan manis, dan mulai membaca menu mencari penganan yang dia mungkin suka. Dari sudut matanya, ia memperhatikan bahwa mejanya belum dibersihkan. Di sudut yang lain, matanya tertumbuk pada selembar kertas lusuh yang sudah setengah basah. Pikirnya, itu adalah kertas yang ditinggalkan oleh pejajan sebelumnya. Hmm, kertas yang sedang diremehkan dan dianggap tak berguna.

Selesai makan, ia penasaran. Disambarnya kertas itu, dan dibawanya pulang ke kantor. Entah bagaimana, kertas itu tetap dipertahankan dan tidak dibuangnya ke tong sampah. Mungkin, karena ia mulai tertarik dengan isinya, informasi tentang workshop Saya.

Saya tidak tahu apakah brosur workshop Saya itu sering dibacanya atau tidak, akan tetapi menurut staf Saya, ia menunda ikut sampai tiga kali, sebelum akhirnya memutuskan untuk hadir dan mengikuti. Mungkin, fenomena fisik yang sama juga masih menghinggapinya, hingga ia belum juga terpengaruh olehnya. Atau, waktunya yang belum memungkinkan, tapi ia sendiri juga mengatakan bahwa waktunya longgar karena ia cukup “boss” di kantornya.

Dan seperti yang sudah Saya ungkapkan di atas, ia mengatakan sangat puas setelah mengikuti workshop Saya. Berubahkah hidupnya? Ya! Berulang kali ia menelepon Saya, hanya untuk berbincang dan mengingatkan kembali, bahwa kini ia sudah lebih percaya diri.

Hidupnya berubah. Dan itu terjadi, “hanya karena” selembar brosur, yang telah lusuh dan kumuh tertumpah kuah mi ayam, yang semula diremehkannya dan ditemukan “tanpa sengaja”! Waspadalah, dan berhentilah membesar-kecilkan makna, hanya karena fenomena fisiknya. Tidak baik untuk Anda.

HAL KECIL BISA BERBAHAYA UNTUK ANDA


Anda mungkin sudah pernah mendengar cerita ini.

Seorang jenderal, berkuda di depan memimpin pasukannya memasuki sebuah kota. Ia dan pasukannya, baru saja menaklukkan kota itu. Maka, parade kemenangan itu mulai dirayakan saat memasuki kota taklukan dengan gagahnya. Dagu Sang Jenderal terangkat saat memasuki gerbang kota. Kudanya pun melangkah dengan gagah. Begitu pula pasukannya.

Di sepanjang jalan utama, di kiri dan kanan jalan setiap orang duduk bersimpuh. Merendahkan diri sebagai bangsa yang telah takluk. Mengangkat kepala pun mereka tidak berani. Dipancung nanti. Begitulah, Sang Jenderal dan pasukannya, derap demi derap menyusuri jalan utama kota.

Di suatu belokan, Sang Jenderal melihat seorang tua terbungkuk-bungkuk, tertatih melangkah perlahan menyeberangi jalan. Sang Jenderal tersinggung melihatnya. Ia yang merasa sebagai penakluk, harus terhalang jalan oleh seorang tua renta yang kumuh dan baunya tercium kemana-mana. Ditegurnya Pak Tua itu dengan keras, “Hei tua renta! Tahukah engkau siapa aku? Akulah penguasa kota ini sekarang!”

Pak tua itu mengangkat kepalanya perlahan, memandang Sang Jenderal sebentar, dan kemudian tanpa acuh meneruskan langkahnya menyeberang jalan. Perlahan dan menggemaskan. Sang Jenderal pun naik pitam. Jika saja tidak tua renta, ia sudah menghunus dan menebaskan pedangnya. Ia sekali menghardik, “Hai kau tua renta, engkau pikir dirimu siapa! Minggirlah sebelum kupancung kepala busukmu itu!”

Sekali lagi, Pak Tua berhenti dan mengangkat kepalanya, dan sekarang ia mengangkat tangannya, menegakkan jari telunjuknya, memberi isyarat tanda memanggil. Bukan kepalang kemarahan Sang Jenderal. Sesak dadanya dan mendidih kepalanya. Tanpa sadar, ia menggiring kudanya mendekati Pak Tua renta. Dipelototinya Pak Tua itu tanpa bisa berkata apa-apa. Pak Tua, dengan nekatnya terus menggerakkan telunjukknya. Kurang dekat, mungkin itu maksudnya. Ia ingin mengatakan sesuatu.

Di atas kuda, Sang Jenderal sudah tertelan oleh kemarahannya atas “keremehan” Pak Tua. Tapi saking tak tahu harus bagaimana, ia malah menjulurkan kepalanya untuk bisa mendengar bisikan Pak Tua. Setelah begitu dekat telinga Sang Jenderal ke mulut Pak Tua, Pak Tua itu membisikinya dengan desahan lirih yang hampir tak terdengar.

“Saya Izroil…”

Jenderal itu melorot dari kudanya dan langsung mati.

Berhentilah mengecilkan sesuatu, hanya karena fenomena fisiknya. Anda akan kehilangan makna. Padahal itu, mungkin saja bisa merubah hidup Anda.

Apa Yang Kita Sombongkan?


Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.

Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.

Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?

Sebatang Bambu


Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya. Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu.

Dia berkata kepada batang bambu,” Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air yg sangat berguna untuk mengairi sawahku?”

Batang bambu menjawabnya, “Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau,Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu.”

Sang petani menjawab, “Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar. Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawah sehingga padi yang ditanam dapat tumbuh dengan subur.”

Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam….., kemudian dia berkata kpd petani, “Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?”

Petani menjawab, ” Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua ini karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah.”

Akhirnya batang bambu itu menyerah, “Baiklah, Tuan. Aku ingin sekali berguna ketimbang batang bambu yg lain. Inilah aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang kau kehendaki.”

Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawah sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak.

Pernahkah kita berpikir bahwa dengan tanggung jawab dan persoalan yg sarat, mungkin Tuhan sedang memproses kita untuk menjadi indah di hadapan-Nya? Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa.

Tapi jangan kuatir, kita pasti kuat karena Tuhan tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul. Jadi maukah kita berserah pada kehendak Tuhan, membiarkan Dia bebas berkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang berguna bagi-Nya?

Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, ” Inilah aku, Tuhan…perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki.”

Kisah seekor Belalang

Seekor belalang telah lama
terkurung dalam sebuah kotak.
Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya
tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan
seekor belalang lain.
Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran ia menghampiri
belalang itu, dan bertanya,
“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh,
padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk
tubuh ?”.

Belalang itu pun menjawabnya dengan
pertanyaan,
“Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang
yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang
aku lakukan”.

Saat itu si belalang baru tersadar
bahwa selama ini kotak
itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi
belalang lain yang hidup di alam bebas.

Renungan :
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah
juga mengalami hal yang sama dengan belalang.

Lingkungan yang buruk, hinaan,
trauma masa lalu, kegagalan
yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga,
seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai
mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita
tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai
mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tidakkah Anda pernah mempertanyakan
kepada nurani bahwa
Anda bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau Anda
mau menyingkirkan “kotak” itu?
Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai
sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan
Anda?

Beruntung sebagai manusia kita
dibekali Tuhan kemampuan
untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa
yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai
apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang,
tapi bila Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan
itu pasti akan terbayar.

Kehidupan Anda akan lebih baik
kalau hidup dengan cara hidup
pilihan Anda. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan
untuk Anda.